Mengenal Tuan Guru Dachlan, Pagar Cantung Kotabaru
KOTABARU, lugasnusantara.co.id – Guru Cantung adalah panggilan populer dari Tuan Guru H Muhammad Dachlan bin Achmad Abbas seorang ulama besar yang banyak berkiprah di desa Cantung, Kotabaru Hulu.
Beliau waktu hidup sering diziarahi Tuan Guru Zaini Ghani (Abah Guru Sekumpul) dengan rombongan dan lazim berdiskusi serta saling mendoakan di antara keduanya dalam tempo yang cukup lama.
Biasanya, jika seorang ulama didatangi oleh Tuan Guru Zaini apalagi terhitung dalam frekuensi sering (rutin atau intensif) dan dalam durasi lama lagi, bisa dikatakan ulama tersebut punya kelebihan atau bahkan kuat secara ruhaniyah.
Beliau memang ulama yang menonjol kealiman dan kesalehannya di antara ulama-ulama lain yang ada di sekitarnya.
Wilayah pengaruh beliau tidak saja sudah menembus batas demarkasi teritorial desa Cantung dan kabupaten Kotabaru, tetapi sudah mencapai tingkat propinsi Kalimantan Selatan bahkan tingkat regional Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat).
Wajar jika Tuan Guru H. Taberani Baseri waktu itu selaku ketua Tanfidhiyah PWNU Kalimantan Selatan periode 1998-2003, telah menunjuk dan memasukkan beliau sebagai salah satu unsur Ketua Syuriah PWNU Kalimantan Selatan.
Guru Cantung lahir pada tanggal 14 Agustus 1932, di Amuntai. Pernah menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam, Martapura sebagai murid yang hidupnya sangat prihatin.
Hal ini sempat diketahui Tuan Husin Qadri, salah satu guru beliau di Darussalam yang mengarang kitab Senjata Mukmin. Beliau disuruh Guru Husin mengipasi tubuhnya selepas mandi. Usai mengipasi sang guru beliau diberi uang untuk membeli beras.
Konon beliau disuruh guru utama beliau Tuan Guru Seman Mulia untuk mengasingkan diri di tempat yang jauh. Beliau berangkat menuju sebuah bukit di kawasan Cantung, Kotabaru.
Di sana beliau sempat bekerja sebagai Pegawai Departemen Penerangan, tapi tak berapa lama beliau berhenti agar dapat berkonsentrasi dalam bidang rohani.
Ia membangun tempat kediaman Laladang Musafir dan sekitar tahun 1980-an beliau sudah membuka pengajian sendiri di Masjid Al-Mustaqim, Cantung. Pengajian seputar tafsir Alqur’an digelar setiap malam Jum’at dan selalu disesaki oleh masyarakat Cantung dan sekitarnya.
Masyarakat menyenangi pengajian beliau karena gaya bahasa beliau sangat sederhana, mudah dipahami dan mengena di hati. Tutur kata beliau lemah lembut, baik dalam pengajian maupun saat bergaul sehari-hari. Meskipun begitu, beliau tetap rendah hati, tak gengsi hadir di pengajian orang lain.
Syahdan, beliau sering hadir di pengajian Abah Guru baik yang masih di kampung Keraton maupun yang di Sekumpul dan beliau suka duduk mambuncu, berada di sudut belakang menyembunyikan diri.
Mungkin beliau lebih mendahulukan orang yang datang dari tempat tinggal yang jauh dan memberikan kesempatan jamaah yang datang dari tempat yang jauh tersebut untuk masuk ke dalam dan bisa berhadap pandang dengan Guru Sekumpul.
Entah kenapa suatu ketika acara berlangsung, Guru Sekumpul yang berada di dalam menyebut nama Guru Dachlan yang berada jauh di luar. Karena kasyafnya tidak mungkin dapat melihat Guru Dachlan yang berada di luar karena jamaah ribuan banyaknya.
Kata Guru Sekumpul, “Guru Dachlan… Caka baparak kasini nah jangan di buncu/dipinggir haja”.
Subhanallah semua orang tertegun dan mungkin di dalam hati bertanya-tanya siapakah Guru Dachlan yang disebut-sebut Guru Sekumpul.
Nama Guru Cantung juga terkenal berkat Abah Guru Zaini Ghani. Pada satu pengajian di Kampung Keraton (lokasi awal sebelum pindah ke Sekumpul), tiba-tiba di tengah pengajian Guru Sekumpul berkata, “Pagar Cantung, Pagar Cantung.”
Abah Guru menyebut Guru Dachlan sebagai Pagar Cantung yakni wali yang menjadi penjaga dan pelindung kota Cantung.
Beliau meninggal pada tanggal 15 Mei 2004 Masehi atau 24 Rabiul Awwal 1425 Hijriah.
Alfaatihah gasan Tuan Guru Cantung dan Tuan Guru Sekumpul …..